“Tetaplah menulis walau hanya beberapa kata. Kadang satu kata itu bisa menjadi satu alenia, dan satu alenia bisa menjadi pemacu semangat untuk menulis menjadi satu halaman. Hingga akhirnya menghasilkan satu tulisan utuh”Suatu ketika saya berbincang dengan teman yang pekerjaannya menjual buku. Di meja yang sama juga ada teman penulis buku sekaligus editor. Saya seperti berada di tengah-tengah orang hebat dengan segala pengalamnku yang minim. Tak banyak saya bicara, lebih sering mengingat tiap mencatat obrolan dalam ingatan.
Credit: Pixabay |
“Sampai sekarang saya bingung. Bagaimana cara menghitung prosentasi minat baca kita rendah? Padahal hampir tiap orang sudah mempunyai gawai, mereka membaca tak harus menggunakan koleksi tercetak,” Ujar editor.
Dia menceritakan kebiasaannya. Setiap hari minimal 15 menit membaca artikel dari Amazon Kindle (aplikasi langganannya). Segala buku berbagai genre dibaca untuk menambah wawasan. Editor itu mengatakan ingin menjadikan aktivitasnya menggunakan gawai bermanfaat. Tidak hanya memantau lini masa media sosial yang penuh hiruk-pikuk.
Teman yang penjual buku juga bercerita jika tiap ada koleksi buku baru yang dipajang, pasti banyak pengikutnya di Instagram berkomentar serta meminta segera ada Pre Order buku tersebut.
“Jangan-jangan masih banyak yang latah sering membeli buku, menumpuknya di meja kamar tanpa menjamah sedikitpun hingga usang?”
Sontak saya merasa tersindir. Bagaimana tidak, di meja kamar masih ada 15 judul buku yang sudah terbeli tapi belum sempat menjamahnya. Saya baru sempat membaca judul dan pengarangnya. Isinya? Masih rapi dalam bungkus plastik transparan yang mulai dipenuhi debu.
“Menurut kalian lebih asyik baca buku tercetak atau ebook?” Pertanyaan macam apa ini? Saya sendiri tak mengira bakal terlontar pertanyaan tersebut.
Kedua orang di samping saya tertawa. Dari sini saya bisa melihat bagaimana tertawanya penjual buku dan editor saat mendapatkan pertanyaan “lucu” dari saya.
“Zaman jangan dilawan, tapi diajak berkawan,” Ujar editor buku.
Lagi-lagi dia bercerita tujuan menulis adalah mencatat sejarah. Apapun medianya. Dulu, nenek moyang kita menulis di batu, kulit, daun lontar, hingga kertas ditemukan. Semua dilakukan untuk mencatat sejarah.
Sekarang? Kita dimudahkan berbagai media. Ada yang menulis di media tercetak seperti majalah, buku, dan yang lainnya. Ada pula yang mencatat sejarahnya pada blog, wattpad, dan sejenisnya. Semua sama.
Urusan nyaman mana, tergantung kita. Pada akhirnya kita pasti terbiasa membaca buku digital (ebook). Dulu, gawai sekadar untuk menelpon dan mengirim kabar melalui pesan singkat. Sekarang, semua yang kita lakukan lebih banyak menggunakan gawai, termasuk membaca.
Ya, benar adanya. Kita menjadi nyaman karena terbiasa. Dulu, membaca buku harus buku tercetak, karena memang adanya hanya koleksi tercetak. Sekarang kita masa peralihan. Sementara hanya membaca berita pada portal daring melalui gawai, tidak salah jika ke depannya membaca novel ribuan lembar pun melalui gawai.
Sebagian orang saya yakin masih nyaman membaca buku tercetak (termasuk saya). Tapi apa mungkin selamanya seperti itu? Saya sendiri tidak yakin. Zaman mulai berubah, mau tidak mau kita juga harus merangkulnya dengan cara mengikuti perkembangan zaman.
Ada waktunya kita dituntut membaca tulisan panjang (novel/karya ilmiah) melalui gawai. Kita membiasakan, dan kita menikmatinya. Sementara generasi yang akan datang lambat laun asing dengan koleksi tercetak. Sama halnya seperti kita yang aneh rasanya membaca manuskrip pada batu, kulit, dan daun lontar.
Tentu ini menjadi tantangan bersama. Terlebih bagi para pecinta aroma buku baru kala pertama dibuka setelah dibeli. Tidak jarang mereka menghirup bau buku tersebut sebelum membacanya. Selain itu, di masa mendatang kita hanya bisa tertawa kala mengingat membaca buku tercetak sebagai sarana untuk dapat tidur nyenyak layaknya Librocubicularist; yakni orang yang membaca buku sembari tidur di atas kasur.
Nasirullah Sitam
Email: roellah@gmail.com
Blog: https://www.nasirullahsitam.com/
Travel Blogger & Staf Perpustakaan
0 komentar:
Posting Komentar