Oleh: Maniso Mustar
Pustakawan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
ariemaniso1205@ugm.ac.id
Menggelitik bukan? Iya, ini sangat menarik. Kenapa pustakawan disebut singkong? Ini adalah sebuah perumpamaan yang saya temukan dalam kehidupan saya sebagai pustakawan. Berawal dari pertemuan singkat saya dengan seorang alumni kampus yang saat ini bergelar dokter spesialis anak di Kota Lampung, saat beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengikuti acara call for pappers dalam Semiloka Nasional Inovasi Perpustakaan (SNIPer) yang diselenggarakan Forum Pustakawan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) kota Lampung. Dalam acara tersebut tersimpul bahwa dalam memasuki perubahan iklim informasi era digital, pustakawan harus membuka mata hati untuk bersinergi dengan perubahan. Perpustakaan dan pustakawan harus dapat menakar ulang seberapa besar perannya dalam retrospeksi dan reposisi di era disrupsi teknologi.
Setelah seharian berkutat dengan acara tersebut, saya langsung menuju hotel tempat saya menginap yang kebetulan di depannya terdapat sebuah kedai kopi ala Lampung yang sangat menggoda untuk disinggahi. Selapas magrib telepon saya berdering dan ternyata seorang alumni dari tempat saya bekerja menghubungi saya untuk sekedar bersua. Saya janjikan untuk bertemu di kedai kopi yang berada tepat di depan kamar hotel tempat saya menginap yang memang sudah dari awal sangat menggelitik batin saya untuk berkunjung. Benar saja, dia mengajak bertemu di tempat tersebut dan membawa rasa bahagia dalam hati saya.
Pustakawan Singkong?
Dalam pertemuan tersebut diawali dengan munculnya seorang pelayan yang membawakan buku menu yang tebal dan tercetak sangat menarik. Dalam waktu yang singkat sahabat saya langsung memesan secangkir kopi dan sepiring singkong. Sayapun terheran-heran. Bagaimana bisa, seorang dokter spesialis anak kok hanya memesan sepiring singkong? Kenapa tidak makanan lain yang menyehatkan? Semua memang tergantung selera.Obrolan dimulai. Saya langsung berseloroh, kok pesannya singkong, tidak makanan lain yang menyehatkan? Ini favorit saya, jawabnya. Sayapun bercerita mengenai profesi saya sebagai pustakawan dan menghubungkan dengan suasana setempat, yaitu singkong. Dok, hidup saya (pustakawan) yang hanya bermodalkan kuliah dan setiap hari melakukan rutinitas itu seperti singkong lho. Saya dituntut untuk bekerja di perpustakaan dengan keilmuan yang cetek untuk melayani pemustaka dengan segala aturan baku. Pekerjaan hanya duduk, menunggu buku, menunggu ruangan yang sunyi senyap tanpa suara, meskipun terdapat banyak pengunjung. Leher saya seolah terasa kaku karena harus mengikuti aturan tersebut. Itulah diri saya (pustakawan) dengan keilmuan yang pas-pasan, yang tidak up to date. Inilah saya, pustakawan singkong.
Ilmu kepustakawanan yang sangat dasar dan belum mengikuti perkembangan zaman tidak akan menghasilkan pelayanan yang sempurna. Apalagi hanya bermodal ilmu yang didapatkan waktu kuliah. Ingat!!!! Ilmu perpustakaan terus berkembang dan berubah seiring dengan adanya perubahan iklim teknologi informasi. Maka, apabila pustakawan tidak mau merubah diri dan mengikuti perkembangan zaman, sudah otomatis pustakawan akan terdampak disrupsi teknologi. Pustakawan ibarat singkong rebus. Bagus dalam penampilan namun terasa hambar dan mencekik tenggorokan apabila dikonsumsi.
Pengembangan Identitas Pustakawan Layaknya Singkong Keju?
Dalam menyajikan makanan, seorang koki harus pandai dalam mengkombinasikan menu supaya terasa lebih nikmat untuk penggemarnya. Olahan singkongpun seperti itu, akan lebih menarik apabila dikombinasi dengan keju sebagai topping. Singkong akan terasa lebih sedap, gurih, nikmat dan menagih. Singkong inilah yang akan bernilai komersial tinggi. Tak hanya disajikan di rumah, tetapi bisa menembus pasaran papan atas seperti kafe dan restoran. Begitu juga pustakawan. Dalam perubahan iklim informasi era digital, bisa dilihat secara gamblang tipe pustakawan itu. Singkong atau singkong keju?Pustakawan harus bisa menjawab tantangan dalam perubahan agar tidak ditinggalkan oleh pemustaka. Apakah tantangan pustakawan di zaman now? Tak dipungkiri perubahan iklim informasi era digital melanda semua kalangan dan adaptasi oleh masyarakat. Perubahan ini merupakan kebutuhan manusia modern, di mana hampir semua aspek kehidupan ditunjang dengan perkembangan teknologi digital yang canggih yang mengutamakan profesionalisme, kecepatan, ketepatan, entertiainment dan smart device. Semua menganulir perubahan ini sangat penting dan diikuti untuk menunjang kebutuhan mereka, terutama dalam dunia kerja. Perkembangan ICT seperti teknologi 4G LTE, perkembangan komunikasi super canggih dalam berbagai fitur, perkembangan operating system dan Big Data juga sangat berperan dalam perubahan dalam menunjang aktivitas sehari-hari. Semua menjadi mudah, praktis, cepat, tepat dan porfesional.
Transformasi dan Disrupsi
Transformasi ini juga disambut berbagai industri, pemerintahan, lembaga pendidikan bahkan perpustakaan. Semua berusaha untuk menyesuaikan zaman supaya selaras dengan perubahan iklim informasi era digital yang menantang. Contoh, transformasi teknologi digital oleh industri besar sektor manufaktur, akan tetapi masih tidak sejalan dengan peningkatan kompetensi tenaga kerja dan mengakibatkan banyak tenaga kerja yang terpangkas secara perlahan karena kurangnya kompetensi mereka akbibat disrupsi digital ( Kompas, Sabtu 24 November 2018 halaman 1 ).Contoh lain adalah disrupsi teknologi pada perusahaan pengelola jalan tol. Lihatlah kisah mereka. Jalan favorit para pengendara yang ingin melintas dengan cepat dan tepat waktu, dulu dijaga oleh pegawai di setiap pintu sehingga membutuhkan SDM yang banyak untuk memperlancar arus kendaraan sistem cepat tanpa macet. Ribuan tenaga dibutuhkan dalam operasional setiap harinya. Tapi keadaan sekarang bagaimana? Mereka terdampak disrupsi teknologi tanpa ampun. Mereka yang berjumlah ribuan, tiba-tiba harus diberhentikan dan digantikan dengan mesin pembaca barcode. Benda kecil yang praktis untuk menjalakan oprasional sesuai harapan manajemen. Lalu mereka dikemanakan? Apakah mereka masih bekerja atau di PHK? Sungguh malang nasib mereka.
Apakah nasib pustakawan akan berujung sama seperti mereka? Bisa jadi iya. Apabila pustakawan masih pasif, tidak mau memperbaharui ilmu, maka lambat laun mereka akan tersingkir layaknya pekerja jalan tol. Betapa tragis dan memilukan apabila hal tersebut benar terjadi. Pustakawan dapat belajar dari hal tersebut. Bahwa kebutuhan manusia saat ini tertuju pada perubahan yang sangat besar. Dan di sinilah peran profesional pustakawan harus ditunjukkan.
Pustakawan harus up to date, menerima, memaknai dan menjalankan perubahan dengan sikap dan tindakan nyata melalui karya-karya dan inovasi bidang kepustakawaan. Pustakawan harus menyesuaikan perkembangan dan meningkatkan profesionalitas bidang teknologi, manajemen, relationship, membangun daya saing dengan menyajikan konten digital yang beragam. Pustakawan harus menjadi partner informasi generasi milenial melalui pelaksanaan tupoksi yang dijalankan secara optimal. Merekalah pustakawan singkong keju, pustakawan peka zaman yang sangat menggoda untuk dikunjungi oleh pemustaka. Salam literasi.
Super sekali, semoga tercapai semua yg dicita2kan dan sesuai harapan. Pustakawan harus berjuang lebih gigih di era internet ini.
BalasHapusTerima kasih. Semoga Pustakawan Indoesia bisa berjuang untuk kemajuan bangsa Indonesia....
HapusBenar sekali mas Coco, di era digital ini, semua2 diambil alih oleh teknologi. Karena itu kita harus selalu mengembangkan diri. Walaupun begitu saya tetap lebih suka singkong rebus kok, apalagi dimakan saat hujan2. Hehehehe....
BalasHapusTerima kasih. SIngkong rebus memang ngangenin. apalgi kalau di makan sembari minum kopi. dan singkong olahan berupa singkong keju juga luar bisa, ngehit dan rasanya mendunia,..... Itulah Pustakawan Indonesia
Hapusluar bisa.. semoga selalu menginspirasi pustakawan-pustakawan lainnya... sukses selalu
BalasHapusTerima kasih
Hapus