Pustakawan bisa jadi 'juru kunci' ruang digital | Image: simplilearn.com |
Hari ini, berbagai kanal komunikasi massa dibanjiri dengan informasi politik, utamanya terkait isu dan dinamika seputar pemilihan umum. Obrolan di media sosial membuat ruang politik digital begitu gempita. Hal ini semakin membuktikan bahwa alam demokrasi yang pada awalnya kerap berjalan linier dari para elite menuju khalayak biasa, kini bertransformasi menjadi pola interaktif yang memungkinkan siapa saja bisa berpartisipasi secara intens di dalamnya tanpa sekat, tanpa kasta dan tanpa status apapun.
Lalu dimana, bagaimana atau apakah pustakawan dapat terlibat atau mengambil ‘kavling’ di ruang maya itu?
Pustakawan, anggaplah dia sebagai makhluk yang memiliki misi.
Apapun asalnya, pendidikannya, keberuntungan atau keterpurukannya. Saya tak
ingin beretorika yang biasa diungkapkan Kang Paijo atau lawannya yang menjadi digital asset manager tapi ‘kekeuh’
menyebut diri sebagai pustakawan. Pustakawan digital, katanya. Atau mengangkat
isu ketidakrelevanan IPK dengan skill
para mahasiswa perpustakaan tetapi ‘kekeuh’ pula mencantumkan IPK minimal
sebagai syarat ‘mempersunting’ pekerjaan. Apapun itu, saya yakin profesi ini
memang akan sedang terus berkembang mencari jati dirinya, baik secara keilmuan
maupun pratikalnya.
Kembali pada pustakawan, yang sejatinya terlahir dengan misi.
Kita coba menelisik ke sekitar tahun 285-246 SM, pada masa Perpustakaan
Alexandria, dikenal tokoh-tokoh pustakawan seperti Zenodotus yang bekerja merekonstruksi
puisi-puisi Homer; Callimachus menyusun Pinakes yang disebut-sebut sebagai
katalog perpustakaan pertama di dunia; hingga Aristhopanes, seorang pustakawan
yang juga ahli puisi. Pada intinya, apa yang mereka kerjakan bermuara pada
kepentingan para penggunanya, memudahkan pengguna dalam memahami dan/atau
memanfaatkan sesuatu.
Lalu kembali ke era sekarang, ruang-ruang digital kita memang
tengah diwarnai dengan informasi politik. Yang perlu dicermati, sesungguhnya
pustakawan sangat bisa mengimitasi laku para politisi di ruang politik digital
itu. Fenomena ruang politik digital ini setidaknya ditandai dengan empat
fenomena. Pertama, tren global
demokrasi partisipatoris. Politik kerelawanan semakin menguat, contohnya dalam
media sosial dimana masyarakat tak lagi sekedar konsumen informasi tetapi juga memproduksi
dan menyebar gagasan serta dukungan. Ini dapat dimanfaatkan oleh pustakawan dengan
melibatkan masyarakat untuk meng-create dan blowing-up isu-isu
kepustakawanan, literasi dan sebagainya dengan daya resonansi yang kuat.
Kedua,
komunikasi politik interaktif. Politikus yang memahami pentingnya interaksi dan
mampu mengadaptasi perubahan pola komunikasi inilah yang akan bertahan. Hal ini
dapat diadopsi oleh pustakawan saat menyebar isu via ruang digital.
Para pustakawan harus menyadari bahwa gaya komunikasi di ruang digital tak lagi cocok dengan controlling style yang menempatkan kuasa begitu kuat pada komunikator. Gaya ini justru akan membuat gap, menjaga citra dan mengontrol umpan balik dari para komunikan. Pustakawan pun harus menyadari, gaya terstruktur, rapi dan keterukuran tak pula cocok di ruang digital karena akan membosankan.
Gaya yang relevan dan cocok serta masih mungkin disukai
adalah kesetaraan (equalitarian style)
yang menekankan kesetaraan posisi antara komunikator dan komunikan. Sandiaga
Uno dan Jokowi, misalnya, dengan gaya khasnya mereka bisa masuk di kalangan
milenal meskipun mereka bukan lagi dari golongan itu. Pustakawan dapat
mencontoh style mereka dalam
berinteraksi lewat ruang digital.
Ketiga, saat ini berbagai
konflik sering dimediasi dengan penggunaan informasi berbasis teknologi
komunikasi. Fenomena twit-war dan
petisi online misalnya, dimana satu isu besar diangkat ke depan pintu ruang
digital untuk dicarikan pendukung dan selanjutnya diarahkan sesuai tujuan dan
kepentingan.
Fenomena ini adalah contoh nyata dimana pustakawan juga punya andil dengan isu-isu sensitif semacam tingkat literasi, razia buku, gaji pustakawan, anggaran perpustakaan, pengiriman buku gratis, dan lainnya yang dapat dikomunikasikan di ruang-ruang digital.
Keempat, transformasi
politik memberikan akses ke informasi yang sifatnya personal. Di ruang digital,
kita sangat mungkin langsung berada di pusaran informasi melalui interaksi yang
dibangun. Di ruang digital, seorang walikota, gubernur bahkan presiden sangat
mungkin berinteraksi langsung dengan warganya. Bahkan sering kita jumpa di lini
masa, seorang professor dan pakar beradu argumentasi dengan mereka yang bukan
ahlinya. Nah, pola interaksi seperti ini yang sangat bisa diadopsi oleh
pustakawan ketika ingin terjun di ruang-ruang digital untuk mengangkat berbagai
isu yang menjadi konsentrasi atau perhatiannya.
Sekarang, tinggal bagaimana pustakawan akan mengambil sikap. Hanya
ada dua pilihan; segera berinvestasi dengan mengambil ‘kavling’ terbaik di
ruang politik digital itu; atau tetap menunggu modal yang tak kunjung kumpul
sementara muncul pengumuman, ‘senin harga naik’!
------------------------------------------------------------------------------
Kebon Sirih,
Senin, 28 Januari 2019 [11:27 WIB]
Muhammad Bahrudin
[masih jadi] Pustakawan
0 komentar:
Posting Komentar