Ngomongin pustakawan itu seperti sedang sembelit. Sulit lit lit. Dalam sebuah prakonvensi pustakawan yang diselenggarakan oleh Perpusnas, aku menginap di Hotel Mercury Jakarta. Aku oleh panitia prakonvensi harusnya tidur sekamar dengan Yuan (ISIPII). Note, biar gak misleding, Yuan Oktavian itu laki loh...dan beruntung si Yuan kemudian ngilang, so aku bisa sendiri dikamar menikmati film City Of Angel.
Dalam film City of Angel, Nicolas Cage memerankan malaikat pencabut nyawa yang jatuh cinta ke seorang dokter bernama Seth. Sementara Maggi sang manusia diperankan Meg Ryan. Dan cara bagi malaikat untuk menjadi berubah menjadi manusia adalah dengan “jatuh” dari tempat yang tinggi. Didorong rasa cintanya kemudian Seth melakukannya. Ternyata hal tersebut berhasil dan membuat Seth menjadi manusia. Ia pun bisa menjalin cinta dengan Maggie. Namun Seth tidak pernah menyangka bahwa menjadi manusia artinya dia harus siap merasakan kehilangan dan patah hati. Menjadi manusia, adalah sebuah pilihan hidup, yang meskipun tidak abadi, tapi harus dijalaninya.
Bagaimana dengan pustakawan?
Apakah menjadi pustakawan juga pilihan hidup?.
Kegalauan Menjadi Pustakawan
Dalam prakonvensi yang berlangsung selama 3 hari tersebut, hadir semua dedengkot dunia kangauw pustakawan Indonesia yang membahas SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional bidang Perpustakaan). Sebuah momen yang sangat penting bagi dunia kepustakawanan Indonesia, karena disitulah akan ditentukan seperti apa standar kompetensi bidang perpustakaan?
Karena sifatnya menentukan kompetensi kerja para pustakawan, hadir semua stakeholder yg mewakili bidang kepustakawanan. Jujur saya sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan konten acaranya. Saya tak terlalu minat dengan tema tema besar "menarik gerbong kereta". Satu hal yg mengasyikan ya karena pada momen tersebut, saya banyak bergaul dengan para pustakawan dan akademisi sekolah perpustakaan dari berbagai daerah. Maklum, para pendekarnya sedang kumpul saat itu. Dari situ banyak cerita muncul terkait pengalaman berkepustakawanan.
Dalam obrolan di sela istitirahat prakonvensi, salah seorang temanku berceritra terjebak menjadi pustakawan karena sejak kuliah ketika ia sudah magang di perpustakaan. Itukah putusan eksistensialis sebagai Pustakawan? Apakah ia menyesal kini setelah dirinya terbelunggu dalam rutinitas tetek bengek kerja perpustakaan yang monoton?; Adakah ia menyesal melepaskan kesempatan mereguk cita-citanya serta mimpi mimpi anggun menjadi seorang Jenderal Besar misalnya atau Sekjen PBB mungkin ?.
Ada juga cerita seorang pustakawan yang sudah sepuh dan memutuskan untuk tak berharap lagi mengupas segala kegalauannya. Bahkan menyentuhnya dan meraba dan mengungkit makna eksistensi pustakawanpun enggan.
Kenapa?
“Karena aku telah matang dan tak ada yang tersisa untukku selain menjadi pustakawan. Menjadi Pustakawan adalah takdir Illahi yang tak perlu dipertanyakan”
“ Tidak, tidak, aku tak mau menjadi orang lain dalam deret aritmetika profesi yang bodoh macam itu" : serapahnya.
"Aku bisa saja menjadi guru, insinyur atau dokter sekalipun, tapi takdirku menjadi pustakawan titik, bukan koma" , beuh mantab nian si bapak mirip poltak.
Saat itu juga, aku berdiskusi dengan salah seorang dosen dan praktisi perpustakaan mengenai sesuatu yang ideal, menjadi pustakawan yang paripurna. Dalam perbincangan saat makan malam di Hotel Mercure tempat pertemuan pra konvensi, ia menceritakan padaku mengenai semuanya – pengalamannya menjadi seorang pustakawan yang paripurna, dari beliau sampai uzur usianya menjelang pensiun.
Dia berceritera dengan gagah berani menjadi pustakawan yang paripurna adalah menjadi pustakawan tiga dimensi. Bukan sekedar pustakawan yang disibukkan oleh kegiatan rutinitas kepustakawanan yang menjemukan, tapi juga pustakawan dengan dimensi sosial yang humanis.
Sulit. Sulit? Sulit, seperti sembelit ! Sulit menjadi pustakawan yang diidamkan. Kami bertukar kata, saling menyampaikan pengalaman dan pandangan masing-masing.
“Aku tak mau terjebak dalam diskusi tentang ini,” ujarnya sambil menyantap ayam bakar yang warnanya begitu mengkilap.
Ya, aku pun tahu kau akan berkata demikian. Kau pun aku sama dalam memandang makna menjadi pustakawan. Kami kemudian mempunyai persamaan pada suatu titik; sama-sama tak ingin cepat bertekuk lutut menjadi pustakawan yang repetitif prosedural dan untuk mengabdi menjadi sahaya. Menjadi Pustakawan yang sering terlihat adalah akumulasi ketertundukan manusia yang kehilangan dimensi kemanusianya. Pustakawan yang hanya terjebak dalam kegiatan repetitif administratif pagi – sore – siang – malam.
Tapi aku tak ingin diadu dengan kata-kata yang tak bermakna. Buktikan dengan tindakanmu barulah semuanya jelas. Baru aku dapat menilaimu apakah memang pantas aku menilanya sebagai Pustakawan yang Paripurna. Sayangnya itu sulit sulit dan mustahil, hingga aku merasa seperti sembelit!
“Kupikir itu wajar saja. Kita adalah orang-orang yang percaya terhadap arti penting pencapaian sebuah mimpi. Mana mau kita dengan cepat menyandarkan diri dengan orang yang tak tepat dan lemah?”
Kubiarkan pikiranku mengelana entah kemana. Rasanya jauh dan begitu menyakitkan. Ada kesadaran yang tiba-tiba merasuk dan mesti kuungkapkan.
“Kita tak bisa mengharapkan menjadi pustakawan yang paripurna. Tak ada kebahagiaan sepenuhnya abadipun. Coba kau bayangkan. Apakah dengan memilih menjalani profesi ini kau siap melepaskan semua mimpi-mimpimu?"
"Iya, jika kau pada akhirnya menemukan kebahagiaan yang sempurna. Jika tidak? Atau kita telah berjalan terlalu jauh dan tenggelam ke dalam obsesi menuju mimpi-mimpi kita yang sendiri".
Ia mendengarkanku dengan seksama. Begitu serius dan hanyut ke dalam kata-kata yang kuucapkan disela-sela bibirku.
“Iya, selalu ada yang mesti dikorbankan,” ucapnya dengan sedih.
Kesadaran mengenai kebahagiaan yang tak mungkin dicapai jelas membayangi. Manusia yang dapat berpikir, sungguh menakjubkan sekaligus menakutkan. Berpikir dan menyelami diri sendiri seolah bermain layaknya Tuhan. Berpikir mengantarkan pada pengetahuan baru yang begitu menakutkan untuk diselami. Ada kebenaran yang tersembunyi dan jarang terkuak dikehidupan sehari-hari, termasuk ketika menjadi pustakawan.
Dan kembali ke Film City of Angel, apakah harga sebuah pilihan hidup, termasuk ketika menjadi seorang pustakawan, apakah sepadan dengan pengorbanannya?
Entahlah, yang pasti pustakawan bukanlah malaikat yang sedang jatuh cinta. Dan seperti paradoks, karena disaat yang sama para pendekar kepustakawan indonesia sedang berkumpul menentukan kompetensi kerjanya, saya belum menemukan definisi yang pas tentang menjadi pustakawan. Yang pasti, setiap mendengar kata pustakawan, seperti layaknya slilit yang menempel di gigi ataukah perasaan sembelit...
by:
yogi hartono - ketua forum pengelola perpustakaan & arsip media
sisilainpustakawan@wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar