Era digital membuka corong bebas untuk menyalurkan informasi apapun. Beragam motif dengan kemudahan memproduksi informasi, rupanya menghadirkan soal baru bernama hoaks. Bahkan topik ini seakan bersaing dengan isu radikalisme dan intoleransi.
Hoaks seringkali diciptakan tidak karena alasan positif. Walau katanya ada yang sengaja menebar hoaks untuk menguji nalar publik. Tapi yang namanya bohong, tentu dipandang negatif. Sebab itu, hoaks lalu dipercaya dapat menimbulkan gejolak yang dalam taraf tertentu, akan mengancam suatu tatanan yang kondusif. Dan rakyat di negeri demokratis ini agaknya diuji dengan hoaks.
Hoaks makin mengemuka saat nuansa politik lagi hangat. Banyak kabar dipaparkan di media, seakan menanti untuk dikonsumsi secara permisif. Ironilah jadinya kala pembaca menerima informasi tanpa menggunakan pisau analisis. Bukan hanya karena tak sanggup membandingkan setiap kabar burung, tapi lebih karena pilihan yang melimpah dari berbagai media tak mungkin bisa ditelisik secara komprehensif.
Analisis terhadap konten berita memang diperlukan untuk mendeteksi validitasnya. Lalu juga menyelidik asal usul media yang menjadi perantara kabar itu disiarkan. Artinya dua kemampuan yang diperlukan saat ini yaitu literasi informasi dan literasi media (digital).
Meski agak dilematis memang untuk menentukan setiap pilihan objektif, apalagi jika persepsi telah dikontaminasi oleh pilihan politik yang biner. Jadi, mungkin hanya mereka yang punya waktu dan keinginan untuk bersikap kritis dan selektif yang dapat lolos dari hoaks. Dan apakah itu para petani, buruh atau pemarkir?
Sumber: librarysciencelist.com |
Upaya menyikapi hoaks pada akhirnya menawarkan suatu kondisi masyarakat yang perlu meningkatkan kemampuan literasi. Peningkatan yang dilakukan harus selangkah lebih maju dari para produsen hoaks, jika perlu membidiknya dengan argumen yang menyehatkan. Atau paling tidak melakukan karantina dalam laboratorium pembelajaran literasi, agar contoh berita yang serupa itu tak menjangkiti yang lain.
Dengan demikian pertanyaan mengapa literasi itu penting, tidak hanya dijawab oleh pustakawan secara informatif dan metode regulatif. Jauh daripada itu, ia berperan membongkar keresahan masyakarat akan hoaks yang mengancam negeri dengan pesona (pengaruh) yang memikat kepada literasi. Di sinilah pustakawan harus berdialog.
Potensi semacam itu dapat ditularkan pustakawan yang giat (pemerhati) internet dan media, demikian dengan para Pustakawan Blogger. Namun yang paling awal, para pustakawan hendaknya menyiapkan (mengembangkan) diri untuk mau terjun bebas dari menara gading kegelisahannya. Tak berarti mengabaikan domestik, karena dialog (seperti tentang hoaks) yang akan dirajut juga tak jauh-jauh dari tanggungjawab moral pustakawan.
Penulis adalah Penata Pustaka di PUKE dan Pengelola www.dipustaka.com
0 komentar:
Posting Komentar