Saya berpikir, pemuda itu lebih pantas menyandang gelar pustakawan, pejuang literasi yang mampu memberdayakan lingkungan dibanding saya yang bekerja karena ada gaji dan menjalankan tugas."Oleh: Juznia Andriani
andrianijuznia@gmail.com
Tak pernah terbayang dalam benak saya menjadi pustakawan. Tak pernah tersirat di otak saya menjadi PNS di PUSTAKA Bogor. Kantor dengan gedung ramping tinggi menjulang. Kantor yang berlokasi di lingkungan yang asri dekat Kebun Raya dan istana. Semua itu berawal dari saran suami yang meminta saya agar resign dari tempat kerja dan mendaftar menjadi PNS yang berlokasi dekat tempat tinggal. Mulailah saya mencari alamat - alamat instansi pertanian di kota Bogor. Dalam benak saya, nantinya akan jadi PNS yang sesuai dengan background pendidikan di bidang pertanian. Mulailah pencarian dimulai berbekal buku alamat dan nomor telepon di Yellow Pages. Rupanya takdir membawa saya ke PUSTAKA. Terus terang meskipun saya lama tinggal di BOGOR, baru pertama kali saya menginjakkan kaki di PUSTAKA.
Credit: openclipart |
Kalau orang bilang pustakawan melakukan pekerjaan yang monoton dan membosankan, jawabannya salah besar. Pengalaman saya menjadi pustakawan sangatlah bervariasi. Mulai dari menghadapi anak usia dini sampai profesor. Menghadapi pemustaka cilik, memerlukan layanan yang kreatif dan sabar. Kreatif menciptakan game dan story telling. Tak jarang lagi mendongeng, si anak mau pipis. Terhentilah sejenak, konsentrasi pendongeng dan pendengar pecah. Menghadapi profesor, persiapan harus banyak dalam mencarikan alternatif penelusuran. Saya banyak belajar dan mendapat ilmu dari mereka.
Kerja di layanan perpustakaan membuat saya banyak teman. Kebanyakan pemustaka datang dengan kondisi perlu referensi untuk penulisan. Saya bantu semaksimal mungkin agar mereka pulang dengan tersenyum membawa bahan bahan referensi. Pustakawan bertindak layaknya dokter yang memberi dan menyiapkan alternatif obatnya.
Ada beberapa kejadian yang selalu saya ingat dan itu menjadi inspirasi untuk semangat kembali dalam memberi pelayanan kepada pemustaka. Waktu itu sekitar pukul dua siang datang dengan tergopoh-gopoh pemuda berusia sekitar 18 tahunan. Dari penampilan tampak dia sudah melakukan perjalanan yang cukup lama dan jauh. Keringat masih bercucuran. Saya sapa dia dengan pertanyaan apa yang dapat saya bantu. Sambil menyeka keringat dia bercerita bahwa dia sudah dari pukul 5 pagi sesudah subuh berangkat dari daerah pelosok di Sukabumi pergi ke PUSTAKA.
Dia dapat kabar dari saudaranya kalau di PUSTAKA tempatnya informasi pertanian. Sebagai seorang pemuda desa dan juga seorang petani tergerak hatinya untuk mencari informasi dan berbagi dengan petani lainnya. Yang dia cari informasi tentang kelapa. Di daerahnya banyak tumbuh pohon kelapa dan banyak buahnya namun belum bisa terjual dengan harga yang pantas. Dia ingin kelapa di daerahnya dapat laku dan bisa punya nilai lebih untuk dijual dalam bentuk selain kelapa. Dia juga minta informasi untuk pemanfaatan bagian lain dari pohon kelapa.
Saya termangu dengan apa yang diutarakan. Pemuda desa, yang belum mengenal HP, hanya mengandalkan alamat dan informasi dari saudaranya, datang dengan semangat ke PUSTAKA. Bermodal tekad besar dia berusaha mencari informasi untuk membuat perubahan besar bagi kemajuan petani di daerahnya.
Saya ambilkan air minum untuk menghilangkan rasa hausnya. Saya tanya mengapa tadi tergopoh gopoh datangnya. Jawabnya, saya takut kantornya keburu tutup, makanya saya jalan cepat dari terminal menuju kantor ibu. Kalau sampai tutup, saya bingung mau menginap dimana menunggu esok hari.
Mak jleb hati saya mendengar apa yang disampaikan. Rasa malu menyergap diri saya. Saya merasa rendah dan tidak berarti di hadapan pemuda tersebut. Pemuda yang dengan tekad dan semangatnya mempunyai jiwa untuk berbagi dan berinisiatif mencari informasi untuk kemajuan desanya. Berangkat subuh, berjalan kaki, gonta ganti angkutan umum dia jalani dengan ikhlas. Setelah saya layani kebutuhan informasinya dengan berbagai macam buku, VCD dan leaflet yang saya berikan, saya bertambah haru. Tatapan mata yang sedikit berkaca dan pancaran kebahagian, serta jabat erat tangannya , membuat perasaan saya semakin haru. Ucapan terima kasih berulang dan untaian doa dipanjatkan buat saya. Sungguh seorang pemuda yang sangat luhur.
Peristiwa itu membuat saya semakin bersyukur menjadi seorang pustakawan. Bekerja di ruangan yang nyaman, membantu orang yang perlu informasi, memberi kebahagian bagi mereka. Didoakan selalu agar sehat dan terus membantu sesama. Nikmat apalagi yang akan didustakan. Kalau mengingat kejadian itu, timbullah semangat untuk menyadarkan diri bagi saya. Kadang kebosanan atau rasa malas yang menyergap saat memberikan layanan, bangkit kembali mengenang peristiwa itu. Saya berpikir, pemuda itu lebih pantas menyandang gelar pustakawan, pejuang literasi yang mampu memberdayakan lingkungan dibanding saya yang bekerja karena ada gaji dan menjalankan tugas. Namun ada persamaan antara saya dan dia, sama sama bekerja dengan hati dan ada semangat untuk berbagi. Jadi siapa yang lebih pantas? Saya atau dia yang jadi Pustakawan.
Teman kolega pustakawan, itu sekelumit cerita saya, mana cerita anda?
Bu Juznia...betul betul betul, warbiasah...
BalasHapusTerharu biru Bu Nunik... Benar-benar pegiat informasi yang mengerakkan hati,,
BalasHapusSubhanallah, jadi minder dengan pemuda itu. Niat banget demi sebuah informasi
BalasHapusMatur nuwun komennya. Memang banyak di sekitar kita pejuang literasi yg tidak kenal lelah. Tunggu tulisanku lagi ya ttg peristiwa yg berkaitan dgn layanan perpus.
BalasHapusMasyaAllah bu juz.... 😍 semoga lelah ibu menjadi lillah dan ilmunya berkah... aamiin
BalasHapusAamiin ya robbal aalamiin
BalasHapus