Seperti ditulis pada buku Pak AR Sang Penyejuk karya Saefudin Simon, Pak AR sekolah di SR kemudian melanjutkan di Mualimin meski hanya bertahan 2 tahun. Beliau kemudian balik ke kampungnya, karena tak ada biaya. Dengan semangat ngajinya yang tinggi, beliau belajar dengan Kyai di kampung, termasuk pada ayahnya: KH. Fachrudin.
Pak AR tidak kuliah. Konon, kabarnya pernah mendaftar kuliah, namun ditolak oleh kampusnya. “Kami ingin Pak AR ngajar, bukan menjadi mahasiswa,” demikian tanggap kampus. Hobinya membaca, di mana saja. Menjadi Mubaligh Muhammadiyah cita-citanya, dan wong ndesolah sasarannya.
Beliau tak punya rumah, bahkan sampai meninggal. Rumah di Cik Di Tiro merupakan pinjaman Muhammadiyah. Di depan rumah berjejer rapi botol bensin eceran. Rumah yang ditempati juga disekat jadi kamar kos. Motornya Yamaha butut tahun 70-an, itupun - kata Pak Syafii Maarif -pemberian Prawiro Yuwono, orang yang kasihan pada Pak AR. Motor itu menemani ke sana ke mari untuk berdakwah. Kadang juga berboncengan dengan Bu Qom, istrinya. Karena keduanya berbadan gemuk, kadang Bu Qom hampir duduk di lampu belakang.
***
Pak AR pintar berkomunikasi, berdiplomasi. Dengan warga pengajiannya sudah pasti. Namun, Beliau juga lihai berkomunikasi dengan orang tinggi level presiden. Presiden Soeharto merupakan kawan baiknya. Ketika berbicara, keduanya menggunakan Jawa Kromo Inggil. Pak Harto begitu mempercayai Pak AR, karena tak pernah minta apapun, kecuali untuk Muhammadiyah dan ummat Islam. Konon, Pak Harto tidak marah ketika diajak “istirahat” oleh Pak AR. Tentu saja karena keduanya sudah akrab, ditambah lagi dengan lumantar bahasa jawa kromo inggil, menjadikan keduanya lebih saling menghormati.
Bantuan untuk Muhammadiyah, atau lembaga lain yang melewati Pak AR selalu utuh. Meski menjadi talang berbagai bantuan, Pak AR tidak teles. Pak AR merupakan talang yang selalu garing, mengantarkan air sampai ke tujuan tanpa kurang.
***
Pak AR mampu menghadirkan agama dengan bahasa yang ringan, enak, sejuk, dan membahagiakan. “Ceramahnya disukai bukan hanya oleh ummat Islam, namun juga umat agama lain,” kata Pak Amidhan. “Agama Islam itu sejuk jika dihadirkan Pak AR,” demikian kutip Simon dari kawannya, Pak AR mampu menyaring, memilih dan memilah informasi, kemudian disampaikan pada orang yang tepat, pada waktu yang tepat. Bukan hanya menyampaikan, namun juga melakukan, memberi contoh.
“Pak AR adalah ulama yang tawaduk,” kata Prof. Syafii Maarif. Tidak perlu menyampaikan bahwa dia bisa ini atau itu. Bahkan, konon, kabarnya Pak AR menolak ketika akan dibuatkan buku dalam rangka 70 tahun usianya. “Loh, aku ini bukan siapa-siapa. Ndak pantas dibuatkan buku 70 tahun Pak AR,” katanya. Ketika ceramahnya di RRI akan dibukukan, Pak AR bertanya, “apakah lawakan Basiyo sudah dibukukan?”. Ternyata tidak. Pak AR pun tidak mau ceramahnya dibukukan.
***
Membaca kisah Pak AR, saya jadi ingat dengan kepustakawanan kita. Mampukan, atau adakah tokoh kepustakawanan ala Pak AR?
Pustakawan yang belajar dari membaca, mempraktikkan, memberi contoh. Lihai berdiplomasi, namun tetap tawaduk, menyejukkan, jauh dari hingar bingar harta dunia, namun tetap berperan dalam mendidik.
Pak AR yang da’i, sama dengan pustakawan. Bahkan Pak AR itu pustakawan. Ah, terlalu jauh saya membandingkan. Tapi, mohon maaf bagi yang kurang berkenan. Pustakawan itu seperti da’i. Tidak harus sekolah formal, cukuplah keinginan kuat, mau membaca, belajar sepanjang hidup.
Da’i itu pustakawan.
0 komentar:
Posting Komentar