Artikel ini sedikit posmo, jadi harap memaklumi jika penulis
mengupas sudut sempit kegalauan generasi Hyun Bin dan para army BTS ketika memaknai perpustakaan. Jangan pulak mengutuk, jika terkesan artikel ini menggeneralisir dengan serampangan, karena terkadang kita harus memulai mengupas dari sudut sempit subyektifitas.
Siapa tak kenal Jacques Lacan ? Pemikir posmo anak didik Sigmund Freud ! Lacan selalu memandang objek sebagai objek hasrat dan juga
objek penyebab hasrat. Objek penyebab hasrat adalah apa yang dicari subjek
hasrat saat menghasrati suatu objek hasrat. Objek hasrat adalah botol. Sebuah
pemaknaan botol sebagai wadah air minum merupakan objek penyebab hasrat. Objek
penyebab hasrat bukanlah objek dalam-dirinya-sendiri, melainkan objek untuk
diri kita. Kehadiran objek inilah yang justru menjadikan botol sebagai objek
hasrat hilang.
Contoh yang sangat menggelikan adalah botol minuman bersoda
dalam Film The Gods Must Be Crazy. Botol yang kita mengerti sebagai wadah air
minum pada kenyatannya bisa digunakan sebagai alat pemukul, alat musik tiup
ataupun sebagai cetakan. Hingga pada akhirnya N!xau sebagai pemeran utama
berkelana mencari ujung dunia untuk mengembalikan botol tersebut kepada Dewa.
Dalam konsep Lacanian, kesalah-mengertian (meconnaissance)
berbeda dengan ketidaktahuan (ignorance). Di balik kesalah-mengertiannya,
subjek tau pengetahuan macam apa yang disalah-mengerti.
Sebagai masyarakat modern, kita tentu saja melihat fenomena
itu sebagai hal yang menggelikan. Namun pada saat itulah kita menyadari
kehilangan familiaritas objek akibat makna kita sendiri dan menjadikan objek
tersebut tak familiar bagi diri kita. Semuanya terjadi tiba-tiba seakan-akan
objek mengguncang dan meninggalkanmu dengan mendisorientasi makna kebingungan
dan ketidakpastian. Itulah yang dinamakan Keganjilan (Uncanny).
Sejatinya memang tidak ada pemaknaan tunggal dari sebuah
objek. Objek-dalam-dirinya-sendiri memang selalu dimaknai oleh orang yang
mengetahui objek. Pengetahuan yang dimengerti tentang objek ironisnya merupakan
sebuah kesalah-mengertian. Kesalah-mengertian dari objek ini memang akan selalu
terjadi setiap kita mengenali apapun termasuk diri kita sendiri. Dalam konsep
Lacanian, kesalah-mengertian (meconnaissance) berbeda dengan ketidaktahuan
(ignorance). Di balik kesalah-mengertiannya, subjek tau pengetahuan macam apa
yang disalah-mengerti.
Begitulah Perpustakaan sebagai sebuah objek Lacanian tidak
hanya dipandang sebagai sebuah uang atau tempat itu sendiri (das-ding-an-sich).
Perpustakaan (kemudian) secara (awam) dimaknai sebagai tempat atau locus yang mengelola
buku (pustaka). Ya sesederhana itu, karena masyarakat umumnya mencerna dengan
hal yang sederhana, yang tertancap di bathok kepala mereka. Perpustakaan
mendapatkan maknanya juga melalui statistik sebagai tempat belajar atau orang
yang menelusur informasi. Mengelola dan meminjam telusurkan buku. Pengertian
apapun terhadap pustakawan diluar definisinya hanya membuat dia semakin
disalah-mengerti.
Sejarah, data dan statistik justru menyandera subjek untuk
mengaburkan pandangannya tentang pustakawan. Subjek tersandera dan terfiksasi
terhadap suatu objek dalam fungsi istimewa. Data analisis justru membuat
masyarakat kebanyakan terjebak pada fantasi kita tentang peran pustakawan. Fantasi
meyakinkan masyarakat, bahwa pustakawan akan bisa mengelola buku dengan mudah.
Ini menarik, ketika kemudian perpustakaan mulai digugat eksistensinya. Atau ada yang nyinyir kenapa harus ada perpustakaan ? Atau yang lebih moderat, ketika kemudian perpustakaan dicangkok bidang lain untuk peran yang berbeda, itu justru hanya akan menambah momen keganjilan semakin terlihat. Benarkah ? Apa jadinya jika perpustakaan koleksinya gitar dan alat alat pertukangan. Apa mungkin sebuah perusahaan akan mencangkok “dasar pengelolaan administrastif” terinspirasi sebuah perpustakaan ? Atau ada yang menakut nakutin, perpustakaan ntar jadi Librarysaurus loh ! Yakin perpustakaan bisa berkelindan, menggeliat dengan seksi keluar dari khittah nya ?
“Ngomongin Perpustakaan itu ya ngomongin seekor harimau sang
raja hutan ! Bukan seekor macan kumbang, jaguar atau cheetah, karena mereka
adalah kaum Muggle, (Muggle merujuk kaum campuran kaun penyihir dan manusia
pada film Harry Potter, ras yang tidak murni)”, kata Ambar temanku pustakawan
BSN.
Pada saat itulah sebuah fantasi bermain. Sejarah, data dan
statistik justru menyandera subjek untuk mengaburkan pandangan masyarakat
tentang makna sebuah perpustakan. Subjek tersandera dan terfiksasi terhadap
suatu objek dalam fungsi istimewa. Data analisis justru membuat kita terjebak pada
fantasi kita tentang perpustakaan. Fantasi meyakinkan kita bahwa perpustakaan
ya fungsinya seperti itu, titik bukan koma. Fantasi yang membuat topeng untuk
pustakawan agar dimengerti.
Alih-alih fantasi kemudian membuat masyarakat senang atau
tidak; terhadap makna “perpustakaan”. Justru fantasi tersebut akan membuat awam
makin galau terhadapnya. Topeng yang selama ini disematkan terhadap makna
perpustakaan ternyata sepenuhnya tidak muat. Menampakkan sebuah wajah yang lain
yang sama sekali asing dari topeng yang dibuat.
MAntap mas yogi...ayo pustakawan kita bersatu meruntuhkah hegempni pemaknaan pustakawan....supaya semua orang tau pustakawan juga manusia yg memiliki hasrat...dan jiwa pengabdian....
BalasHapusAyoooo Mba Yeni........sikaaat hihihihi
HapusMAntap mas yogi...ayo pustakawan kita bersatu meruntuhkah hegempni pemaknaan pustakawan....supaya semua orang tau pustakawan juga manusia yg memiliki hasrat...dan jiwa pengabdian....
BalasHapus