Sudah sampai di penghujung batas waktu posting serbuan pustakawan blogger belum juga mampu menemukan ide dan merangkai kata-kata yang baik. Akhirnya dengan nekat ketemu satu frasa di pikiran pustakawan bagaikan "penyedap rasa". Kata itu muncul begitu saja di benak saya ketika mencoba melanglangkan pikiran ini dalam ingatan lama tentang cerita, keluh kesah, kesan, anggapan dan berbagai hal terkait pustakawan. Saya mencoba memahami kata "penyedap rasa" ini dari dua sisi yang bisa jadi sama tapi bisa jadi berbeda.
Sisi pertama. Selayaknya bumbu penyedap rasa, pustakawan itu harusnya membuat perbedaan dalam komunitasnya. Makanan yang sama diperlakukan dengan atau tanpa penyedap rasa tentu akan berbeda rasanya. Makanan dengan bumbu penyedap rasa yang berbeda tentu akan menghasilkan rasa yang berbeda pula. Misal daging sapi, dikasih bumbu rendang, bumbu balado, bumbu gulai, bumbu tongseng, tentu akan menghasilkan rasa yang berbeda. Tergantung kapan kita berselera dengan daging sapi model bumbu apa yang ingin kita nikmati.
Nah kaitannya dengan pustakawan bumbu penyedap rasa ini, maka pustakawan itu sudah seharusnya memberikan sesuatu yang berbeda bagi komunitasnya. Tanpa dia maka komunitasnya bagaikan makanan tanpa bumbu penyedap rasa... hambar... tanpa rasa... tidak enak dilidah.. dan tidak memberikan selera makan. Mau daging kelas wahid kalau cara memilih bumbunya salah atau tidak diberi bumbu penyedap rasa tentunya tidak akan memberikan selera bagi orang untuk memakannya. Pustakawan itu, harus bisa menjadikan komunitasnya terasa 'tidak berselera' kalau dia tidak ada disitu. Pustakawan, bisa menjadi bumbu penyedap yang memberikan nilai lebih kepada institusi dan komunitas yang dilayaninya. So, sudah seharusnya demikian. Publikasi, penelitian, aktifitas komunitas yang dilayaninya tidak akan mampu menghasilkan racikan yang ciamik dan menggugah selera kalau tidak ada 'penyedap rasa' yakni campur tangan pustakawan disitu. Pustakawan harus mampu menjadi pembeda hasil karya pengetahuan komunitasnya. Bahkan manakala komunitas membutuhkan banyak sekali asupan-asupan 'gizi' bagi aktifitas keilmuannya, maka pustakawan harus siap dengan segala macam bumbu penyedap rasa itu. Mau masak daging rendang... maka pustakawan sudah siap dengan bumbu rendang dan penyedapnya, mau masak daging jadi sate marangi, maka pustakawan harus siap dengan bumbu khas sate maranggi... dan seterusnya. Singkatnya.... pustakawan adalah bumbu penyedap rasa bagi produk yang dihasilkan komunitasnya. Selayaknya seorang koki... ketika mau memasak dia tidak menemukan bumbu yang pas maka tidak akan menghasilkan makanan yang berkelas, demikian juga dengan komunitas yang dilayani pustakawan, mereka tidak akan dapat berbuat banyak menghasilkan karya masterpiece apabila tidak ada pustakawan penyedap rasa dibelakangnya.
Sisi kedua adalah sisi pandang agak sedikit negatif. Selama ini pustakawan kadang memang hanya dijadikan 'bumbu penyedap rasa", tapi ketika kepuasan itu sudah didapatkan maka sang koki akan dengan bangganya mengatakan bahwa dialah ahlinya dalam memasak. Nah ini yang terjadi dengan pustakawan. Pustakawan sering hanya dibutuhkan ketika misal akan akreditasi. Agar nilai akreditasi dan reputasi institusi di mata assesor meningkat maka pustakawan menjadi primadona untuk menjadi bumbu penyedap borang akreditasi. Atau misal pustakawan akan dikejar-kejar ketika terjadi deadline berita atau penelitian, tapi begitu penelitian dan berita sudah berhasil ditampilkan dengan asupan informasi dan data yang diberikan pustakawan, maka kredit terhadap pustakawan tidak pernah ada di dalamnya. Meminjam salah satu kalimat yang sudah sering di dengar... "Pustakawan itu semacam hanya objek pelengkap derita" ketika kesenangan sudah diraih maka lupalah mereka. Pustakawan akhirnya hanya sekedar menjadi bumbu pemanis atau penyedap rasa ketika hajat besar institusi sedang dipersiapkan... tapi tidak ketika pesta pora keberhasilan tercapai.
Itulah sekedar omongan sambil lalu... sekedar ikut berkontribusi menyemarakkan semangat pustakawan blogger creativity. So para pustakawan.... mau jadi penyedap rasa yang memberikan pembeda dengan berbagai rasa kepada komunitasnya atau mau sekedar menjadi bumbu pemanis wajah ambisi institusinya? Yang bergerak hanya ketika kita suatu waktu dibutuhkan..... Semua itu tergantung kita...
Yogyakarta, 07.02.2018
Surip Kethip
Sisi pertama. Selayaknya bumbu penyedap rasa, pustakawan itu harusnya membuat perbedaan dalam komunitasnya. Makanan yang sama diperlakukan dengan atau tanpa penyedap rasa tentu akan berbeda rasanya. Makanan dengan bumbu penyedap rasa yang berbeda tentu akan menghasilkan rasa yang berbeda pula. Misal daging sapi, dikasih bumbu rendang, bumbu balado, bumbu gulai, bumbu tongseng, tentu akan menghasilkan rasa yang berbeda. Tergantung kapan kita berselera dengan daging sapi model bumbu apa yang ingin kita nikmati.
Nah kaitannya dengan pustakawan bumbu penyedap rasa ini, maka pustakawan itu sudah seharusnya memberikan sesuatu yang berbeda bagi komunitasnya. Tanpa dia maka komunitasnya bagaikan makanan tanpa bumbu penyedap rasa... hambar... tanpa rasa... tidak enak dilidah.. dan tidak memberikan selera makan. Mau daging kelas wahid kalau cara memilih bumbunya salah atau tidak diberi bumbu penyedap rasa tentunya tidak akan memberikan selera bagi orang untuk memakannya. Pustakawan itu, harus bisa menjadikan komunitasnya terasa 'tidak berselera' kalau dia tidak ada disitu. Pustakawan, bisa menjadi bumbu penyedap yang memberikan nilai lebih kepada institusi dan komunitas yang dilayaninya. So, sudah seharusnya demikian. Publikasi, penelitian, aktifitas komunitas yang dilayaninya tidak akan mampu menghasilkan racikan yang ciamik dan menggugah selera kalau tidak ada 'penyedap rasa' yakni campur tangan pustakawan disitu. Pustakawan harus mampu menjadi pembeda hasil karya pengetahuan komunitasnya. Bahkan manakala komunitas membutuhkan banyak sekali asupan-asupan 'gizi' bagi aktifitas keilmuannya, maka pustakawan harus siap dengan segala macam bumbu penyedap rasa itu. Mau masak daging rendang... maka pustakawan sudah siap dengan bumbu rendang dan penyedapnya, mau masak daging jadi sate marangi, maka pustakawan harus siap dengan bumbu khas sate maranggi... dan seterusnya. Singkatnya.... pustakawan adalah bumbu penyedap rasa bagi produk yang dihasilkan komunitasnya. Selayaknya seorang koki... ketika mau memasak dia tidak menemukan bumbu yang pas maka tidak akan menghasilkan makanan yang berkelas, demikian juga dengan komunitas yang dilayani pustakawan, mereka tidak akan dapat berbuat banyak menghasilkan karya masterpiece apabila tidak ada pustakawan penyedap rasa dibelakangnya.
Sisi kedua adalah sisi pandang agak sedikit negatif. Selama ini pustakawan kadang memang hanya dijadikan 'bumbu penyedap rasa", tapi ketika kepuasan itu sudah didapatkan maka sang koki akan dengan bangganya mengatakan bahwa dialah ahlinya dalam memasak. Nah ini yang terjadi dengan pustakawan. Pustakawan sering hanya dibutuhkan ketika misal akan akreditasi. Agar nilai akreditasi dan reputasi institusi di mata assesor meningkat maka pustakawan menjadi primadona untuk menjadi bumbu penyedap borang akreditasi. Atau misal pustakawan akan dikejar-kejar ketika terjadi deadline berita atau penelitian, tapi begitu penelitian dan berita sudah berhasil ditampilkan dengan asupan informasi dan data yang diberikan pustakawan, maka kredit terhadap pustakawan tidak pernah ada di dalamnya. Meminjam salah satu kalimat yang sudah sering di dengar... "Pustakawan itu semacam hanya objek pelengkap derita" ketika kesenangan sudah diraih maka lupalah mereka. Pustakawan akhirnya hanya sekedar menjadi bumbu pemanis atau penyedap rasa ketika hajat besar institusi sedang dipersiapkan... tapi tidak ketika pesta pora keberhasilan tercapai.
Itulah sekedar omongan sambil lalu... sekedar ikut berkontribusi menyemarakkan semangat pustakawan blogger creativity. So para pustakawan.... mau jadi penyedap rasa yang memberikan pembeda dengan berbagai rasa kepada komunitasnya atau mau sekedar menjadi bumbu pemanis wajah ambisi institusinya? Yang bergerak hanya ketika kita suatu waktu dibutuhkan..... Semua itu tergantung kita...
Yogyakarta, 07.02.2018
Surip Kethip
0 komentar:
Posting Komentar