Namun yang menjadi hal yang urgen adalah ketauladanan dan habituasi harus lahir dari setiap individu maupun komunal, mulai dari reading interest berkembang jadi reading habits dan akhirnya bisa menjadi reading culture"
Oleh: Sirajuddin*
Mengawali tulisan ini saya ingin sedikit curhat (curi perhatian) tentang profesi pustakawan, yang sering kontradiktif ketika mendengar pustakawan (pengelola perpustskaan) di mindset kebanyakan orang bahwa profesi ini tidak lain hanya sebagai penjaga buku di jajaran rak yang berada dalam satu ruang dengan koridor yang senyap dikelilingi sekumpulan buku usang, rusak saling menempel karena lama tidak beranjak dari rak atau koyak oleh serangan makhluk bertubuh lunak tak bersayap yang disebut kutu buku (book lice atau book worm) yang namanya sering juga disematkan sebagai bentuk khiasan bagi orang yang keranjingan membaca.
Credit: Pixabay |
Tugas pustakawan didelegasikan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan dan tugasnya diproyeksikan dalam Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional RI. Nomor 11 tahun 2015 tentang Juknis jabatan fungsionl menjadi dasar terlaksananya pengelolaan perpustakaan secara professional.
Bangsa yang besar tanpa gerakan litersi hanya akan menjadi bangsa kelas teri perundung, pemaki, tidak punya keluasan hati dan inovasi, ini adalah petikan kata yang selalu disematkan pada bangsa ini, sebagai insan yang literat pustakawan punya tanggung jawab penuh menjadi teladan baca, menulis secara efektif dan masif dan sebagai konsekuensi logis dalam memajukan gerakan literasi.
Perpustakaan menjadi barometer ukuran kecerdasan masyarakat di sekitarnya dan bangsa yang cerdas kreatif dan priduktif adalah sebuah keniscayaan. Gerakan literasi secara sempit diartikan gerakan membaca dan menulis.
Menurut Jeanne R. Et al (2007); Ada tiga tahapan yang dapat diamati dalam perkembangan literasi seseorang. Perkembangan ini muncul karena motivasi intrinsik yaitu: memilih membaca dan menulis, menemukan kesenangan dan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan literasi, sadar menerapkan pengetahuan untuk lebih dalam memahami dan menulis teks.
Mem-buzzer gerakan literasi di kampus dengan masif dilakukan oleh mahasiswa dan gerakan gerakan literasi di luar kampus dengan gaya membaca non-mainstream dengan menggelar tikar di bawah pohon dan di sudut sudut gedung kuliah atau membuat kedai baca, warkop literasi, ini menghadirkan spekulasi bahwa apa mereka betul betul membaca dan larut dalam sebuah bacaan dengan kondisi dimana mereka berada karena membaca secara mainstream dibutuhkan dan semestinya secara bawah sadar (sub-conciousness) membawa kita berkunjung ke perpustakaan.
Gedung mewah Perpustakaan dengan fasilitasnya seyogyanya sukses menjadi pelecut dan penetrasi tingginya minat baca dan gairah menggunakan monograf dan bahan bacaan yang variatif sebagai biang diperolehnya ilmu untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas pribadi bagi pemustaka, karena pesona gawai yang tidak terelakkan dalam mengisi ruang aktifitas mereka.
Era industri 4. 0 saat ini menuntut akselerasi dalam akses informasi UNESCO (United Nations Educational, scientific and Cultural Organization) menemukan adanya kemudahan bagi anak-anak dan kaum yang termarjinalkan.
Kemudahan akses ini terutama daya akses internet melalui android, pada kondisi real masyarakat Indonesia rata-rata 3 kali dari penduduk dunia lainnya terutama dalam hal mengunggah, chatting, like, subscribe dan 60% memberi komentar di fb dari rata-rata penduduk dunia.
Penelitian UNESCO bekerja sama dengan Nokia dan World leader yang meneliti 7 negara sebagai sampel diantaranya Ethopia, Ghana, Simbabwe, Nigeria, India, Pakistan dan Kenya, menurutnya Ada 7 miliar penduduk bumi, 6 miliar punya akses ke hp dan android, jika dibandingkan 4, 2 miliar punya akses ke toilet membuktikan tingginya ketergantungan terhadap gawai. Bahkan ada banyak aplikasi dan media berbasis online yang mempermudah akses bahan bacaan seperti; ipusnas, 50000 free eBooks, Scribd, Epick, Gramedia Digital semua bacaan baik yang berbayar maupun gratis semuanya bisa diakses.
Namun upaya dalam meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah dan para penggerak literasi dan sudah banyak yang dilakukan.
Namun yang menjadi hal yang urgen adalah ketauladanan dan habituasi harus lahir dari setiap individu maupun komunal, mulai dari reading interest berkembang jadi reading habits dan akhirnya bisa menjadi reading culture.
Otoritas perpustakaan sebagai lembaga yang dilengkapi fasilitas dan infrastruktur yang mudah di akses oleh sebagian masyarakat indonesia khususnya masyarakat terdidik dan civitas akademik belum bisa menarik minat dan memenuhi standar kunjungan, ini salah bukti konkret bahwa bangsa ini masih memunggungi masalah membaca sejak lama.
*Penulis adalah Pustakawan IAIN Parepare
0 komentar:
Posting Komentar