Telah digaungkan
bahwa pelestarian hutan dan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama. Bukan
hanya tanggung jawab pemerintah saja, namun segenap lapisan
masyarakat turut diharapkan kontribusinya. Bahkan pustakawan pun dituntut peran
aktifnya dalam berkontribusi nyata dalam pelestarian hutan dan lingkungan.
Beberapa diantara kalangan pustakawan tentu familiar dengan ‘ekoliterasi’ (serapan dari ecology: ilmu tentang bagaimana interaksi
antar komponen penyusun kehidupan dan literacy:
kemampunan mengidentifikasi, mengelola dan memanfaatkan pengetahuan untuk
meningkatkan kualitas hidupnya). Konsep tersebut pertama kali dicetuskan oleh Fritjof
Capra, seorang fisikawan
berkebangsaan Austria, memperkenalkan konsep
ekoliterasi pada tahun 1995. Sang
penggagas berpikir bahwa kerusakan hutan dan lingkungan ini dominan disebabkan
oleh perbuatan manusia yang memanfaatkan sumbedardaya alam secara eksploitatif
baik secara individual maupun berkelompok. Bahkan perbuatan sepele seperti
membuang sampah secara serampangan pun turut menyebabkan kerusakan lingkungan,
iseng-iseng memburu burung pun secara tidak langsung akan merusak regenerasi
tanaman hutan secara tidak langsung. Perlu diketahui bahwa burung yang memakan
buah-buahan tumbuhan hutan turut membantu penyebaran biji tanaman dan
renegerasi tanaman secara alami. Nah, kenapa manusia cenderung merusak
lingkungan dan hutan? Beberapa klaim menyebutkan bahwa terbatasnya pengetahuan
tentang ekoliterasi akan berdampak pada sikap yang abai terhadap kelestarian
lingkungan. Dan keterbatasan pengetahuan disinyalir disebabkan oleh terbatasnya
akses terhadap sumber informasi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan topik
lingkungan hidup. Dalam konteks penyebarluasan informsi, pustakawan ibarat
mercusuar yang memandu masyarakat disekitarnya agar tidak abai terhadap isu-isu
lingkungan hidup.
Perlu disadari
bersama bahwa mengubah pola pikir (mindset) yang berorientasi ramah
lingkungan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun hal tersebut
tidaklah mustahil dilakukan. Teringat akan piramida pengetahuan yang susunan
dari bawah ke atas yang secara berturut-turut terdiri atas aspek: mengenalkan
untuk diketahui - membaca untuk memahami – kepahaman membentuk
kebijaksanaan. Dalam konteks tersebut,
pustakawan selaku garda terdepan ekoliterasi dapat berkontribusi nyata
dalam tataran mengenalkan konsep kelestarian lingkungan dan menyediakan akses
serta panduan kepada sumber-sumber
informasi bertopik kelestarian lingkungan.
Menjelang penghujung
akhir tahun 2019, Para pustakawan/ti Perpustakaan R.I Ardi Koesoema, sebuah
perpustakaan khusus di bidang lingkungan hidup dan kehutanan pada Badan
Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan berikhtiar mengenalkan dan menumbuhkan kecintaan pelajar terhadap
lingkungan hidup dan kehutanan. Pertimbangan kenapa program ekoliterasi menyasar
para pelajar adalah mereka akan menjadi pemegang estafet kepemimpinan sebagai
bagian proses regenerasi 10-20 tahun
mendatang. Jika para pelajar tersebut memiliki pengetahuan dan pola pikir serta
sikap yang pro-kelestarian lingkungan hidup dan hutan maka paham eksploitaisme
sumberdaya alam akan teredam setidaknya 10-20 tahun lagi mendatang. Lalu, tim
pustakawan PRI Ardi Koesoema merumuskan bahwa format ekoliterasi yang
sesuai dengan karakteristik usia pelajar tingkat sekolah dasar adalah bentuk
bercerita (story telling). Mengingat bercerita merupkan proses
penyampaian pesan yang mengkombinasikan aspek verbal dan non-verbal. Pendongeng
dapat mengemas pesan dalam bentuk suara dan gerakan atau ditunjang materi
penunjang audio visual lainnya.
Sebagai penutup, menjaga kelestarian alam dan lingkungan bukan monopoli suatu kelompok atau profesi tertentu. Bahkan Pustakawan yang tidak bersinggungan langsung pun dapat berperan nyata dengan mengembangkan ekoliterasi. Program tersebut dirasa efektif dengan menyasar pelajar dengan materi pengenalan konsep pelestarian alam secar berkesinambungan dan sebaiknya program memadukan konsep eduianment sehingga pesan dapat tersampaikan secara efektif dan efisien. Semoga sekelumit cerita ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bahkan menginspirasi pustakawan lainnya dalam mengembangkan program ekoliterasi dalam format program yang bervariasi. Sekian. (RAH)
0 komentar:
Posting Komentar