Oleh : Dr. Ahmad Syawqi, S.Ag, S.IPI, M.Pd.I
(Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin)
Ada satu kebiasaan baik yang selalu dilakukan oleh umat Islam Indonesia ketika tibanya Hari Raya Idul Fitri yaitu kebiasaan yang disebut dengan Halal bi Halal. Konon kabarnya, nomenklatur itu untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada publik kaum muslimin dan muslimat Indonesia, oleh presiden pertama Republik Indonesia Dr. Ir. H. Soekarno. Di luar negeri bahkan di kawasan Timur Tengah sendiri tidak dikenal istilah tersebut. Biasanya kegiatan ini dilaksanakan beberapa hari setelah hari raya berlalu. Hampir semua orang, mulai dari Presiden, Menteri, Pejabat Publik, termasuk juga seorang Pustakawan, bahkan instansi pemerintah dan swasta, lembaga pendidikan, ormas keagamaan, organisasi profesi, dan partai politik, tidak mau ketinggalan selalu melaksanakan kegiatan Halal bi Halal.
Makna Halal bi Halal
Terkait dengan Halal bi Halal ini, ada satu tulisan menarik yang penulis kutip dari guru saya bernama Prof. Dr. H. A. Fahmy Arief, MA, beliau adalah guru besar bidang bahasa Arab di UIN Antasari Banjarmasin.
Nomenklatur Halal bi Halal ini, jika dilihat dari sudut Ilmu Stilistika atau Ilmu Gaya Bahasa, mempunyai keindahan redaksi dan kedalaman substansi. Dari sudut redaksi, istilah tersebut termasuk "al-ijaz", ringkas dan terkesan praktis. Dalam hal ini, gampang diucapkan dan enak didengarkan. Jika dilihat dari sudut substansi, istilah yang sudah teramat familiar di telinga orang Indonesia itu disebut “al-jinas” yaitu dua kata yang sejenis, mirip dari segi pengucapannya tapi berbeda dari segi maknanya. Kata "Halal" yang pertama mengarah kepada seseorang yang meminta maaf, dan kata "Halal" yang kedua mengarah kepada seseorang yang memberi maaf. Jikalau kedua kata tersebut dikolaborasi menjadi istilah "Halal bi Halal", maka maknanya menjadi ringkas, yaitu saling memaafkan. Menurut para pakar stilistika atau gaya bahasa, jikalau redaksinya ringkas dan muatannya padat, namanya ialah "al-ijaz".
Apabila dilihat dari uraian di atas, maka setidaknya ada dua pihak yang harus diperjelas posisinya dalam acara "Halal bi Halal" tersebut. Pertama, orang yang meminta maaf atas segala kesalahan yang dia lakukan selama kurun waktu sebelas bulan yang lalu. Kedua, orang yang memberi maaf atas kesalahan yang dilakukan oleh saudara-saudaranya yang lain atas dirinya selama kurun waktu sebelas bulan yang lalu. Posisi ini berkelindan saja, di satu sisi dia berada pada posisi orang yang meminta maaf, dan di sisi yang lainnya dia berada pada posisi orang yang memberi maaf.
Persoalan segera muncul pada setiap person peserta kegiatan "Halal bi Halal". Apa pula itu? Jawabnya ialah, ego sentris yang ada di dalam batin masing-masing. Intinya ialah, terasa berat untuk meminta maaf kepada orang lain, dan bersamaan dengan itu pula dia merasa berat memberi maaf kepada orang lain. Apabila hal tersebut yang menjadi kenyataan, maka tidak mustahil sebuah even kegiatan "Halal bi Halal", hanya bersifat seremonial dan basa-basi belaka. Lantas, bagaimana ajaran agama memberi tuntunan kepada umat Islam? Praktis saja, yaitu siapa yang tulus ikhlas memulai untuk meminta maaf, maka dialah yang menjadi pemenangnya. Mengapa demikian? Karena kalau seseorang sudah siap secara jantan untuk meminta maaf, maka tidak ada kesulitan yang berarti baginya untuk memberi maaf kepada saudara-saudaranya yang lain.
Kitapun lantas menyaksikan sebuah pemandangan yang teramat indah. Apa pula itu? Peserta kegiatan "Halal bi Halal" berdiri berjejer sambil melempar senyum kebahagiaan. Ego sentris yang oleh pakar Ilmu Tasawuf disebut penyakit batin, mereka kubur habis-habis. Apa pula itu penyakit batin? Di antaranya ialah, sombong (takabbur), minta didengar (sum’ah), minta dilihat (riya), kagum dengan diri sendiri (ujub), iri dengki (hasad), suka marah (gadhab), berprasangka jahat (su’uzh zhan). Acara meriah itu ditutup dengan santap siang yang mengesankan.
Mengapa Halal bi Halal
Mengapa harus melaksanakan kegiatan "Halal bi Halal"? Kata tanya, “mengapa” itu adalah pertanyaan filosofis. Menurut Prof. Dr. H. A. Fahmy Arief, MA, untuk menjawab pertanyaan “mengapa” harus dilakukan kegiatan "Halal bi Halal", dapat dilihat dari dua sudut. Pertama, sudut teologis atau "Hablum Minallah". Sepanjang bulan Ramadhan tahun ini, kaum muslimin dan muslimat Indonesia melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh. Luar biasa, tidak tanggung-tanggung, sebulan penuh. Sepanjang siang hari, mereka menahan makan dan minum dengan segala apa yang membatalkan puasanya. Di malam hari mereka melaksanakan shalat taraweh dan bertadarus al-Qur’an. Mereka melaksanakan itu semua atas dasar ketakwaan dan penuh kesabaran. Mereka melaksanakan itu semua atas dasar janji Allah SWT. melalui penyampaian Rasulullah SAW. Dalam hal ini ialah, setiap praktek kebaikan yang dilakukan oleh kaum muslimin dan muslimat di luar bulan Ramadhan, mendapat ganjaran antara sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Sedangkan untuk praktek kebajikan di bulan Ramadhan, maka Allah SWT menjanjikan “Wa Ana Ajzi bih” (Aku sendiri yang akan membalasnya tanpa batasan). Di samping itu, sepanjang bulan Ramadhan Allah SWT. perintahkan malaikat Kiraman dan Katibin untuk hanya merekam dan mencatat praktek kebajikan yang dilakukan orang-orang yang berpuasa. Sedangkan praktek kemaksiatan, tidak direkam dan tidak dicatat. Dengan demikian, komunikasi dengan Allah SWT. atau yang disebut dengan “Hablum Minallah", sudah berjalan dengan baik dan komunikasi secara vertikal sudah terlaksana dengan mantap. Pertanyaannya, bagaimana komunikasi horizontal antar sesama manusia yang disebut dengan "Hablum Minannas", sudahkah terlaksana dengan baik? Apakah masih ada sisa-sisa pertikaian lama sebagai buntut dari persaingan pilkada, pilpres, promosi jabatan, dan kompetisi bisnis? Padahal petunjuk agama sudah terang benderang. Dalam hal ini ialah, persoalan liku-liku tindak kejahatan terhadap sesama saudara, sesama kolega, sesama rekan sekerja, sesama relasi harus diselesaikan antar mereka sendiri. Salah satu momentum untuk berdamai dan melakukan islah untuk menyambung tali persaudaraan yang selama ini terputus, ialah melaksanakan kegiatan " Halal bi Halal ".
Apa yang digambarkan di atas, Halal bi Halal bisa terlaksana dengan mantap, apabila kita berada dalam suasana yang normal. Adapun sekarang, kita sedang bahu-membahu memutus mata rantai persebaran pandemi Covid-19 dengan cara menjaga jarak, Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Meminjam istilah Pak Jokowi, bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah saja. Dalam hal ini, termasuk juga kegiatan "Halal bi Halal" yang akan dilaksanakan oleh kita semua harus tetap berjalan secara virtual. Kita harus patuh dan taat terhadap imbauan pemerintah untuk tetap tinggal di rumah saja.
Teriring doa semoga Halal bi Halal yang kita lakukan saat ini selalu memberikan keberkahan, sehat selalu dan panjang umur untuk kita semua sehingga bisa bertemu lagi dengan bulan Ramadhan berikutnya, amin.
0 komentar:
Posting Komentar