Selain Hari Bahasa Ibu Internasional, pada tanggal 21 Februari juga diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional. Peristiwa untuk mengenang tragedi longsor sampah di TPA Luewi Gajah, Cimahi. Tepatnya pada tanggal 21 Februari 2005. Hujan lebat selama beberapa hari mengakibatkan longsornya tanah di tempat pembuangan sampah ini. Selain merusak rumah warga sekitar, juga menewaskan banyak warga yang menembus angka ke seratus. Tentunya ini menjadi salah satu kejadian yang memprihatinkan. Bencana akibat kelalaian manusia.
Menurut
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah sampah setiap harinya
di Indonesia mencapai 185.753 ton setiap harinya. Total produksi sampah di
tahun 2020, mencapai 67,8 juta ton.
Separuhnya sendiri merupakan sampah plastik yang susah terurai. Untuk
sampah sedotan plastik saja, ada 93 juta batang sedotan. Sedotan plastik
termasuk sampah yang susah terurai. Dan tanpa disadari mengancam eksosistem
karena menjadi masalah dalam bentuk mikroplastik. Sedotan plastik masuk sepuluh
masalah besar di dunia. Tentu hal ini tidak bisa dianggap sebagai masalah
sepele. Indonesia sudah darurat masalah sampah.
Menurut
data Kementrian Lingkungan Hidup, sebesar 70% sampah plastik yang bisa didaur
ulang. Sedangkan sampah sedotan plastik, selain memiliki nilai jual yang rendah
dibandingkan sampah plastik lainnya, juga termasuk yang susah untuk didaur
ulang.
Di
Indonesia belum memberlakukan dalam pemilahan sampah seperti di Negara Jepang
atau Korea. Jika kita sudah berinisiatif memilah sampah di rumah, ternyata akan
berakhir sia-sia karena di pembuangan sampah terakhir tetap dijadikan satu.
Tempat pembuangan sampah akhir juga belum merupakan solusi yang tepat. Setiap
harinya tumpukan sampah yang menggunung tidak akan pernah berkurang, tapi makin
meninggi dan terus bertambah tinggi setiap harinya.
Di setiap
lokasi-lokasi strategis di beberapa daerah, pemerintah sudah menyediakan tempat
untuk membuang sampah pada tempatnya. Sayangnya masyarakat kita malas membaca.
Sudah jelas ditulis dengan spanduk besar di lokasi dilarang membuang sampah,
tapi justru menjadi lahan empuk untuk membuang sampah sembarangan. Biasanya
sering kita temukan di pinggiran sawah, ledeng atau lokasi-lokasi yang
sekiranya jauh dari pantauan warga. Di tempat penulis tinggal, sudah ada
beberapa CCTV di lokasi—lokasi rawan sampah yang bertujuan untuk memantau para
warga yang membuang sampah sembarangan.
Membaca
spanduk di larang membuang sampah mungkin sepertinya hal sepele dan kerap kali
sering kita abaikan. Padahal dengan membaca, harusnya kita paham mana yang baik
atau tidak dalam peduli dengan sampah di sekitar kita.
Dengan
membaca juga kita harusnya jadi paham mana sampah yang bisa terurai maupun
tidak terurai. Mendaur ulang sampah-sampah yang sekiranya bisa kita daur ulang
atau kita jadikan pupuk. Mengurangi pemakaian plastik dengan kemana-mana
membiasakan diri membawa totte bag untuk membawa barang belanjaan, minum tanpa
sedotan, membawa tumblr di manapun berada untuk mengurangi pemakaian botol plastik
sekali pakai, membeli sandang yang awet agar mengurangi limbah pakaian dan
sebagainya.
Ditulis oleh:
Luckty Giyan Sukarno
Pustakawan SMA Negeri 2
Metro, Lampung
http://catatanluckty.blogspot.co.id/
http://perpus.sman2metro.sch.id/
Nice post.
BalasHapusYuk kita giatkan recycling and upcycling...
Masalah sampah memang ga ada habisnya :( Susah deh rakyat Indonesia untuk memahami persoalan dan cara menanggulangi sampah. Buang sampah aja ga becus, malah sembarangan. Semoga generasi muda zaman now dan seterusnya mampu memiliki habbit kebersihan lingkungan bebas sampah ya mas.
BalasHapus