Oleh
: Bambang Haryanto
Anda
ketika berkuliah dulu, Anda termasuk golongan pertama atau kedua dalam kategori
berikut ini ?
Golongan
pertama. Mahasiswa kupu-kupu alias mahasiswa yang kuliah-pulang kuliah-pulang.
Mahasiswa kue-kue. Artinya kuliah-gawe kuliah-gawe. Mahasiswa kulom-kulom.
Inilah mahasiswa jenis kuliah-lomba menulis kuliah-lomba menulis, karena mereka
menekuni dunia tulis-menulis untuk mengikuti lomba menulis.
Golongan
kedua. Mahasiswa kuda-kuda, kuliah-dagang kuliah-dagang. Mahasiswa kura-kura,
kuliah-rapat kuliah-rapat. Mahasiswa paku-paku. Alias mahasiwa pasukan
anti-kuliah, karena mereka pergi ke kampus hanya untuk berdiskusi.
Ada
pula mahasiswa kunang-kunang, apa pasalnya ?
Itu sebutan untuk mahasiswa yang gemar pulang berkuliah untuk kemudian
nangkring, bersosialisasi bersama teman-teman. Ada juga mahasiwa kudet,
singkatan dari kuliah-ngedate.
Kutipan di atas diambil dari tulisan saya yang lalu, yang
berjudul “Ngumpet Dimana “Buzzword” Perpustakaan di Kampus-kampus Kita ?”
Gara-gara membaca buku karya Ghani Kunto, Youth
Marketing : Trik Mengoptimalkan Strategi Marketing Dengan Memancing Suara Anak
Muda (2014), saya berpikir ada bagian dari buku itu yang kiranya menarik
didaulat menjadi pisau analisis atas hadirnya beragam buzzword di kalangan
mahasiswa. Tentu saja, implikasinya terkait dengan keberadaan perpustakaan
kampus beserta interaksi para mahasiswa tersebut sebagai penggunanya.
Seperti tertulis di awal, dari beragam buzzword yang ada telah saya coba bagi menjadi dua golongan
berdasarkan kadar kerapatan atau densitas interaksi antarmahasiswa dalam
beraktivitas. Menurut pandangan saya, pada golongan pertama kadar atau
kualitas interaksi antarmahasiswa lebih longgar dibandingkan dengan golongan
kedua. Mahasiswa tipe kupu-kupu atau kukos-kukos, kuliah pulang/kuliah kos,
atau pun mahasiswa yang rajin mengikuti lomba penulisan, bisa diasumsikan
mereka “kurang gaul” dibandingkan mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan
golongan kedua.
Mahasiswa golongan yang kedua, baik yang beraktivitas dalam
kegiatan berdagang, rapat, berdiskusi, nangkring sampai nge-date, dalam buku
Youth Marketing disebut sebagai aktor ruang sosial yang mereka ciptakan sendiri
untuk diri mereka. Karena memang anak
muda membutuhkan ruang sosial dengan teman-temannya untuk berinteraksi apa adanya.
Sebelum dikabarkan bangkrut baru-baru ini akibat disrupsi,
sebagai contoh, jaringan toko yang buka 24 jam 7-Eleven disebut sukses besar ketika mereka beroperasi di Jakarta.
Jaringan toko ini tidak sengaja menemukan resep untuk menciptakan ruang sosial
untuk anak-anak muda Jakarta : buka 24 jam, lampu yang terang untuk mengurangi
persepsi unsur kriminal yang sepertinya hadir ketika anak muda nongkrong di
malam hari, dan mereka diperbolehkan duduk-duduk di lapangan parkirnya.
Kalau Anda keluar rumah di Malam Minggu dan berkeliling di
alun-alun kota Anda, saksikan apa yang terjadi di tempat tersebut. Di kota
saya, di salah satu pojok alun-alun itu berjajaran sepeda kuno, di pojok lain
deretan motor Vespa lama, tak lupa barisan sepeda motor merek tertentu, yang dikerumuni para
pemiliknya. Agak lucu, mereka berhimpun, mengobrol, tetapi sekaligus juga tidak
lepas matanya dari gadget mereka. Itulah ruang sosial bagi mereka.
Ruang sosial tak semata dihadirkan berupa tempat, tetapi juga
oleh alat. Ketika anak-anak muda kini begitu mudah untuk mengunduh lagu apa pun
secara online, ada sebagian anak muda yang menekuni hobi baru : mengoleksi
pringan hitam atau vinyl. Sarana mendengarkan lagu yang jadul amat. Cek saja
situs komunitas mereka: gilavinyl.com.
Menyuruk ke dalam untuk mengetahui apa yang terjadi pada
mereka, ternyata kepingan piringan hitam itu itu nilainya bukan (semata)
sebagai benda teknologi yang mentransmisikan suara, tetapi sebagai alat sosial.
Sarana untuk gaul. Bila kita bandingkan dengan proses pembelian musik digital
melalui Itunes akan terlihat perbedaannya : pembelian piringan hitam adalah
pembelian benda yang bermakna, sedangkan pembelian di Itunes adalah proses
pembelian barang atau komoditas.
Dalam konteks keberadaan ruang sosial, alat sosial sampai terjadinya
interaksi sosial, boleh jadi kita bisa melihat posisi perpustakaan, buku dan
aktivitas membaca dalam kehidupan sosial para mahasiswa. Yang saat ini terlintas di benak saya antara
lain :
Pertama, perpustakaan tentu saja adalah ruang sosial, tetapi suka
atau tidak suka, kondisinya lebih “steril” dibandingkan suasana kafe atau
warung kopi.
Kedua,membaca buku adalah aktivitas individual, dan baru
menjadi kegiatan atau interaksi sosial apabila
sang pembaca bisa berbagi dengan pembaca atau khalayak lainnya.
Ketiga, buku adalah alat sosial. Dinantikan atau
diintensifkan sejauh mana perpustakaan dapat mengangkatnya sebagai sarana
interaksi dan pertukaran gagasan dengan pembaca lain yang membaca buku yang
sama ? Baik tentang isi, desain sampul, kutipan, dan beragam aspek sesuatu buku
tersebut.
Tantangan untuk menghidupkan perpustakaan sebagai ruang
sosial yang hidup ini, bagi saya, bisa memicu adrenalin. Karena selain peluang
tersebut terbuka dipraktekkan di dunia nyata, kiranya juga menantang untuk
dieksplorasi di dunia digital yang maya.
BH/190226